Revolusi industri keempat tak hanya akan mengacaukan model bisnis,
tetapi juga pasar tenaga kerja dalam lima tahun ke depan. Adapun
revolusi keempat dimulai sejak awal 2000 didorong oleh perkembangan
pesat teknologi di berbagai bidang. Diantaranya, robotik, nanoteknologi,
percetakan tiga dimensi, genetika dan bioteknologi.
Demikian hasil studi bertajuk "The Future of Jobs" dirilisWorld Economic Forumdi Jenewa, Swiss, kemarin.
Laporan itu dibuat berdasarkan survei terhadap kepala sumber daya
manusia dan petinggi perusahaan tersebar di sembilan industri dan 15
negara dengan perekonomian terbesar. Total, kelima belas ekonomi besar
itu menghimpun sekitar 65 persen angkatan kerja global.
Inti laporan menyebut, sebanyak 7,1 juta pekerjaan bakal hilang
lantaran sudah tak dibutuhkan lagi pada 2020. Untungnya, masih akan
bermunculan sekitar 2,1 juta pekerjaan baru dibidang komputer,
matematika, arsitektur, dan teknik.
Sehingga, hanya sekitar 5 juta pekerjaan benar-benar hilang atau tanpa kompensasi.
"Tanpa aksi urgen untuk mengelola transisi jangka pendek dan
membangun angkatan kerja dengan skill sesuai masa depan, banyak
pemerintahan bakal menghadapi pertumbuhan pengangguran, dan penyusutan
bisnis berbasis konsumsi," kata Klaus Schwab, Founder dan Executive
Chairman World Economic Forum.
Lebih lanjut, laporan itu juga mengungkap dari jutaan pekerjaan bakal
hilang tersebut, sebanyak 52 persen dilakoni pria. Sisanya, 48 persen
wanita.
Di sisi lain, ini menunjukkan bahwa pria masih mendominasi pasar
tenaga kerja global. Dengan kata lain masih ada bias gender yang lebar
dalam dunia kerja.
Dimana wanita kehilangan lima pekerjaan dari setiap pekerjaan
didapat. Bandingkan dengan pria yang hanya kehilangan tiga dari setiap
pekerjaan didapat. Jumlah wanita bekerja di bidang prospektif semacam
teknologi, sains, dan teknik juga rendah.
Sumber : merdeka.com