Pernah Anda mengantre di restoran selama
satu jam? Atau, saat terjebak macet selama berjam-jam, telepon genggam
tak henti berdering dan Anda tidak mengenali nomor si penelepon. Ketika
diangkat, ternyata seorang agen penjual begitu antusias menawarkan
produknya kepada Anda. Pernah?
Dalam keadaan seperti itu, apakah muncul keinginan Anda untuk membeli
produk? Atau, sebaliknya, Anda justeru pusing, dan kesal dibuatnya?
Jawaban kedua pasti lebih menggambarkan isi hati Anda. Yang pasti, hal itu kini berlaku umum di masyarakat.
Tentu saja, perusahaan industri jenis apapun pernah mengalami kendala
pelayanan atau pemasaran produk seperti itu. Walau konsumen terganggu,
tak semua perusahaan “melihat” hal itu sebagai masalah. Kenapa begitu?
Dalam membangun bisnis, memupuk optimisme memang sangat diperlukan.
Tapi, jangan lupa, kesempurnaan tidaklah mutlak. Perusahaan beromzet
miliaran rupiah pun pasti akan terbentur berbagai masalah. Jadi,
perbaikan berkesinambungan atau dalam bahasa Jepang akrab disebut
“Kaizen”wajib menjadi agenda tetap mereka.
Kaizen mirip dengan filosofi gelas setengah kosong. Untuk
membangun industri, “kekosongan” sangat diperlukan agar pelaku usaha
memiliki pola pikir untuk terus mencari inovasi yang belum pernah
dilakukan. Dalam penerapannya, pelaku industri wajib sigap
mengidentifikasi masalah, jeli menganalisa penyebab, dan kreatif mencari
solusinya.
Kaizen lebih bersifat lapangan dan digunakan dalam proyek perbaikan
jangka pendek. Artinya, perombakan tidak dilakukan secara massif, tetapi
fokus, tepat sasaran, dan membutuhkan hasil cepat.
Sebagai salah satu metode yang sejalan dengan konsep lean production (Baca: Bangun Kualitas, Manufaktur Wajib Kerja Cerdas!),
Kaizen fokus menghilangkan pemborosan-pemborosan dalam proses produksi
sehingga kualitas dan nilai produk menjadi lebih baik. Karena terbukti
efisien, metode asal Negeri Doraemon itu telah diterapkan di banyak
sektor di beberapa negara di dunia.
Salah satu contohnya adalah konsep Toyota Production System (TPS). TPS melekatkan Kaizen sebagai fondasinya, dan bahkan diadopsi oleh industri restoran (Baca: Belajar Kerja Sigap untuk Hasil Produksi Maksimal!).
Sebuah fasilitas restoran non-profit di New York mulai menerapkan TPS
pada 2011 lalu. Setiap hari, restoran sebagai bagian dari ‘Food Bank
for New York City’ itu memberi makanan gratis bagi warga yang
membutuhkan di West Harlem, NYC.
Awalnya, restoran itu mulai kewalahan karena harus menyajikan sekitar
50.000 makanan setiap bulan. Saking sibuknya, pelanggan harus antre
selama 75 menit. Namun, setelah menerapkan TPS, restoran tersebut mampu
mengurangi waktu tunggu menjadi hanya 18 menit saja.
Sementara itu, contoh nyata lainnya adalah perjalanan industri
kosmetik asal Jepang, Saishunkan Cosmetics, yang melakukan perbaikan
pada sistem penjualan dan produksi. Saishunkan memutuskan hanya menjual
delapan produk kosmetik saja.
Mereka juga berhenti menelepon pelanggan dalam memasarkan produk.
Sekitar 800 staf operator telepon disiapkan untuk memberi pelayanan dan
merespon pesanan atau keluhan apapun dari pelanggan dengan cepat.
Hasilnya, 70 persen penjualan produk justru berasal dari telepon
pelanggan, sedangkan 30 persennya lewat penjualan di situs mereka.
Pada industri kesehatan, Park Nicollet’s Heart and Vascular Center di
Minnesota, AS, juga melakukan berbagai perbaikan untuk meningkatkan
efisiensi. Setelah tergoda menerapkan prinsip-prinsip lean production dalam
TPS, pusat pengobatan jantung itu sukses mengurangi jarak pasien
berjalan kaki sebanyak 73 persen dan 30 persen bagi staf.
Dengan jarak lebih pendek, pasien dan staf dapat menghemat banyak
waktu dalam proses pengobatan. Selain itu, mereka berhasil menghemat
biaya sekitar 400 ribu dollar AS atau setara Rp 5,3 miliar. Biaya
pegawai pun dapat ditekan sebesar 140 ribu dollar AS atau Rp 1,86 miliar
per bulannya.
Membangun manusia Kaizen
Para konsultan Kaizen mengamini agar dapat menerapkan konsep ini
secara maksimal. Komponen manusia di dalamnya harus dibentuk sejak
dini.
Namun, SDM berpengalaman yang memiliki kualitas skil tinggi tidak selalu menjadi patokan. Seorang
manusia Kaizen harus punya keinginan belajar yang tinggi dan tak
kunjung surut. Mereka harus siap menerima kritik dan perubahan ketika
dibutuhkan.
Contohnya ada pada PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).
Hampir 100 persen proses manufaktur di TMMIN dijalankan tenaga ahli asal
Indonesia.
Memang, industri otomotif saat ini lebih sering merekrut fresh-graduated. Namun, TMMIN memilih menggodok dan mendidik sendiri SDM mereka agar memiliki pola pikir dan budaya sesuai konsep Toyota.
Dalam membudayaan konsep Kaizen, TMMIN berusaha merangsang inovasi
karyawan. Mereka mewajibkan karyawan menulis ide apapun untuk
mempermudah pekerjaan mereka.
“Para operator di pabrik Toyota wajib mengumpulkan dua ide dalam satu
bulan. Tentu, hal ini kita lakukan secara bertahap. Jika idenya bagus
dan aplikatif, perusahaan akan memberikan penghargaan. Harapannya,
karyawan terbiasa berfikir dan menerapkan Kaizen dalam pekerjaan
sehari-hari,” ucap Yui Hastoro, Technical Director PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia (TMMIN) saat ditemui KOMPAS.com di kantornya,
Senin (1/6/2015).
Sejatinya, sebuah industri akan tumbuh sehat, jika memiliki sumber
daya manusia yang kaya akan ide. Mereka tak hanya kreatif, tapi juga
mampu mengidentifikasi masalah sekecil apapun, bertahan dari gempuran
masalah itu, dan mampu mencari jalan keluarnya. Kaizen!
Sumber : Kompas.com